Selasa, 02 Agustus 2016

Dihadapkan dengan Dua Pilihan



“Dua Pilihan”


U
ngkapan ini dilontarkan seorang remaja putra dengan sangat emosi sampai-sampai suaranya terdengar bergetar. Deretan giginya bergesekkan dengan kencang. Ungkapan itu terdengar tidak elok, bahkan mungkin tidak pantas. Tabu, pantang atau pamali. Mengejutkan. Boleh jadi si remaja itu letih, sangat letih atau mulai putus asa, frustrasi. 



Sudah lebih dari sebulan ia menunggui ayahnya yang terbujur tak berdaya di ruang ICU. Ia anak bungsu dan satu-satunya lelaki selain ayahnya. Ketiga kakaknya perempuan. Karena satu-satunya lelaki, maka ia harus menemani ibu atau kakaknya di malam hari menunggui sang ayah. Ibu dan kakak-kakaknya

bergantian menjaga ayah. Keduanya (salah satu dari ibu atau kakak-kakaknya bersama remaja laki-laki) tidur di sebuah ruangan kecil yang memang disediakan bagi keluarga klien yang dirawat di ruang ICU.
Pasti sangat tidak menyenangkan tidur di ubin beralaskan karpet dan
kasur tipis. Meski ber-AC, ruangan itu agak panas. Hanya keluarga mereka yang menunggu berdua. Keluarga lain bahkan memaksakan hingga empat orang untuk menunggu di situ. Mereka berdua saja sudah merasa kepanasan, bagaimana orang-orang yang sampai 4 orang berjaga di dalam satu ruangan kecil begitu? Demi anggota keluarga mereka, mereka rela tidur dalam suhu panas begini.



Pagi harinya, ia harus pulang mengendarai motor sendiri agar tidak terlambat sampai di sekolah. Jarak dari rumah sakit ke rumahnya bisa ditempuh satu setengah jam bila tidak macet. Padahal, sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah. Bagaimanapun, sejak ayahnya dirawat di rumah sakit, ia tidak bisa lagi sampai di sekolahnya tepat waktu.


Mungkin, karena sudah lebih dari sebulan, ia mulai merasa penat. Kegiatan rutinnya terganggu dan ia harus menjalani hidup yang sama sekali berbeda dari rutinitas awalnya. Apalagi jika memerhatikan ayahnya di ruang ICU dari balik kaca. Ayahnya jelas-jelas terlihat sangat lemah dan tak berdaya. Ia merasa sangat sedih, putus asa dan sama sekali tidak mengerti.
Mengapa ayahnya yang begitu baik, dermawan, sangat peduli terhadap orang miskin, dan rajin beribadah harus terbujur kaku tak berdaya di ruang yang dipenuhi peralatan yang tertancap di banyak bagian tubuhnya? Sedangkan banyak orang jahat yang dirasuki kebencian, iri hati, koruptor, dan pemerkosa anak-anak berkeliaran dalam keadaan sehat di luar sana. Mengapa bukan mereka yang terbujur di sini sebagai balasan atas kejahatannya?



Ia sekeluarga memang sama sekali tidak siap dan sangat kaget serta terpukul mengahadapi musibah yang sangat tiba-tiba ini. Tidak ada hal yang

mengganggu kesehatan ayahnya. Ayahnya tidak mengidap penyakit berbahaya seperti jantung, diabetes, darah tinggi atau

gangguan organ serius. Ayahnya sehat-sehat saja.
Semua ini bermula akibat pengemudi truk bejat menyetir dalam keadaan mabuk. Mobil ayahnya ditabrak  oleh truk yang ugal-ugalan. Supir ayahnya meninggal di tempat kejadian, dan ayahnya koma sampai hari ini. Sang sopir truk kini dirawat di rumah sakit yang berbeda dengan kaki dan tangan patah, serta berstatus sebagai tahanan Polisi. Memang seharusnya orang yang bersalah yang kena batunya. Tapi kenapa ini berdampak pada ayahnya juga?




Karena keadaan ayahnya semakin memburuk, sudah tiga kali dilakukan rapat keluarga besar yang melibatkan seluruh keluarga ayahnya. Sebenarnya suara mayoritas menginginkan semua peralatan yang disambungkan ke tubuh ayahnya segera dicabut. Sangat kasihan membiarkan ayahnya diperlakukan seperti itu. Ia dan kakak-kakaknya juga tidak keberatan.



Tetapi ibunya belum ikhlas melepas ayahnya. Ia berpikir, mungkin ketidakikhlasan ibunya itu yang membuat ayahnya masih bertahan. Ibunya percaya, manusia boleh mengharapkan mukjizat dari Allah. Ia dapat menerima penolakan ibunya. Ia yakin, dalam masalah pelik seperti ini, suara terbanyak bukanlah penentu. Ini bukan sedang pemilihah kepala desa, pikirnya. Ini untuk ayahnya, demi ayahnya.



Namun, belakangan ia mulai berpikir bahwa lebih baik ayahnya wafat. Ia berpikir seperti itu bukan karena tidak menyayangi dan mencintai ayahnya. Ia mendengar keterangan dari dokter bahwa ayahnya mengalami cedera sangat berat pada kepalanya. Otaknya sudah tidak bisa berfungsi normal kembali. Benturan keras membuat kepala dan otak ayahnya benar-benar mengalami kerusakan fatal. Sulit sekali untuk disembuhkan.



Ia mencari berbagai informasi di Google tentang cedera otak. Benar saja, jika dipertahankan hidup, ayahnya sudah tak lagi bisa berfungsi sebagai manusia normal. Makin lama di ruang ICU pasti menghabiskan uang. Mereka sudah menjual dua motor. Ayahnya pedagang, memiliki toko di Tanah Abang dan beberapa tempat lain. Jika begini terus, pasti semuanya akan tersedot habis. Bagaimana keluarga ini menghadapi hidup selanjutnya? Bukankah keluarga ini harus melanjutkan hidup, apapun keadaannya?
Ungkapan lebih baik mati, hidup juga gak guna, terasa tidak sopan, sarkas atau kasar, bisa jadi menggambarkan keputusasaan. Namun dalam konteks seperti ini rasanya tidaklah demikian artinya. Kala manusia menghadapi pilihan-pilihan yang sulit, cara menilai pastilah tidak sama dengan keadaan normal.


Menghadapi situasi seperti ini memang sangat problematis. Terutama bagi manusia yang memiliki iman dan menghayati spiritualitas. Di beberapa negara Barat sudah ada regulasi yang membolehkan manusia disuntik untuk mengakhiri hidup bila memenuhi sejumlah persyaratan, agar tidak terlalu lama menderita. Salah satu sumber regulasi itu adalah hak asasi manusia. Pemikiran yang sepenuhnya rasional yang tidak didasarkan pada iman atau spiritualitas memang sederhana. Sesederhana matematika duniawi. Tiga dikurang satu pasti dua.
Tidak demikian halnya dengan matematika yang didasarkan pada iman, yang melekat dengan spiritualitas. Bila Anda memiliki uang seribu rupiah dan memberikan lima ratus rupiah dengan ikhlas kepada orang yang pantas menerimanya, faktanya uang Anda sisa lima ratus sebagaimana yang diajarkan matematika duniawi.
Tetapi matematika yang didasarkan pada iman menegaskan, Allah pasti, bukan akan, membalasnya berkali-kali lipat. Ini garansi dari Allah. Balasan itu bisa dalam bentuk uang juga. Tetapi tidak selalu dalam bentuk uang. Bisa berupa kesehatan, keselamatan, dan bentuk-bentuk lainnya.
Begitupun manghadapi kematian. Secara rasional benar adanya bahwa jika manusia mengalami kerusakan otak, apalagi parah pasti tidak lagi dapat berfungsi sebagai manusia normal. Karena itu untuk apa dipertahankan tetap hidup?



Ini bukan sekadar soal apakah manusia masih bisa berfungsi lagi atau tidak. Bahkan bukan hanya soal bisa sembuh lagi atau tidak. Ini soal siapa yang menentukan kematian.
Mengapa ada orang yang menderita begitu lama sebelum akhirnya wafat? Ada rahasia di balik semua itu. Penalaran rasional memang tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya secara mendalam. Menghadapi situasi ini dibutuhkan penalaran spiritual. Penentunya adalah keyakinan akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan.
Agama mengajarkan, penderitaan yang dialami oleh manusia sebelum wafat dalam bentuk sakit berkepanjangan, penderitaan mereka yang diluluhlantakkan tsunami, gempa bumi dan bencana lain, memiliki makna di hadapan Allah. Semuanya diperhitungkan, diberi tempat. Itulah sebabnya suntik mati tidak dibenarkan bagi manusia yang sangat menderita sekalipun oleh aturan agama.



Kematian memang memiliki makna yang tak menyenangkan. Kematian lekat dengan kehilangan, kesedihan, dan pedihnya ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Namun, kadang kematian adalah solusi terbaik. Bila si ayah yang telah lama terbujur di ruang ICU wafat, pastilah merupakan solusi bagi penderitaan keluarga ini.


Meskipun tetap akan dihadapi dan dialami dengan kesedihan mendalam. Namun, terselip rasa syukur. Biasanya secara halus diungkapkan dengan cara tidak langsung seperti, kepergian ini merupakan yang terbaik baginya. Terbaik bagi semuanya. Meski kita sangat menyayangi dan mencintainya, tetapi Allah lebih mencintainya.

Ungkapan yang membuat semua yang terlibat dalam kesedihan merasa lebih lega dan enteng.





Kematian sebagai solusi juga bisa dialami oleh negara. Pada negara-negara komunis yang dengan sengaja mentradisikan kultus individu, seringkali kematian merupakan solusi terbaik untuk mengatasi konflik dan membuat negara menjadi stabil.



Saat Mao Tse Tung makin sepuh dan kurang berfungsi, ia tetap jadi pemimpin besar. Karena para pendukung utama dalam lingkar dalam kekuasaan tetap membutuhkan kehadiran sosoknya agar tetap berada dan memertahankan kekuasaan. Tak pernah gampang mengganti pemimpin besar di negara-negara komunis.
Sementara pemimpin besar semakin dipunukkan penyakit parah, berkembanglah beragam spekulasi dan konflik yang membuat negara menjadi

tidak stabil. Ketegangan bisa berkepanjangan bila sang pemimpin besar tidak pernah muncul ke publik.
Berbagai kelompok kepentingan bahkan bisa secara langsung berhadap-hadapan memperebutkan kekuasaan. Kala akhirnya si pemimpin besar wafat, biasanya stabilitas negara secara perlahan bisa dikembalikan, pemimpin besar baru pun muncul. Cina mengalaminya pada masa Mao dan Deng Xiao Ping. Korea Utara mengalaminya pada sama Kim II sung dan Kim Jong II. Cuba juga mengalaminya.



Kematian kadang merupakan solusi terbaik untuk sejumlah masalah yang dihadapi keluarga bahkan negara. Meski begitu, manusia tetap harus sepenuhnya menyadari bahwa penentu kematian adalah Allah. Kematian kadang menjadi problematis. Karena itulah, keluarganya tidak dapat mengambil keputusan terbaik.

Lalu remaja itu dengan tekad bulat, telah mengambil keputusan. Keputusan yang terbaik demi keluarganya, dan juga ayahnya...

Remake by : Anindya A. P. (4) VIII-D



Senin, 01 Agustus 2016

Ordinary Holiday



Libur

Tidak ada yang spesial dari cerita liburanku. Hanya sekedar berlibur di rumah selama bulan puasa. Memang terkadang aku dan keluargaku berbuka di luar. Tapi setelah berbuka, kami langsung pulang. Kami tidak menginap di luar kota, hotel, dan semacamnya. Tidurpun hanya kadang-kadang terlalu malam. Tidur pada jam yang seharusnya. Namun aku harus bangun sekitar jam 4 pagi untuk salat subuh. Rutinitasku yang biasa dengan sedikit pengubahan. Setelah salat, aku bisa tidur lagi sampai jam 11 mengingat aku sedang berlibur. Rasanya liburan terlalu cepat berlalu. Berlibur dalam waktu yang kurang lebih sebulan tidak terlalu cukup untukku. Aku terlalu menikmati liburan dengan rutinitas makan-tidur dengan sedikit aktivitas yang memerlukan tenaga hingga aku lupa minggu depan adalah hari liburku yang terakhir. Karena tanggal 18 aku harus pergi lagi ke sekolah. Lebaran juga sudah lewat beberapa hari lalu. Aku tidak seharusnya menyia-nyiakan waktu liburku.

Hari Senin, tanggal 11 Juli, aku mulai melakukan beberapa aktivitas seperti berjalan santai di jalanan dekat rumah. Setelah 25 menit, kurasakan tubuhku begitu letih. Mungkin karena aku tidak terbiasa melakukan aktivitas selama liburan. Awalnya rasa letih itu dapat kulawan, namun lama-kelamaan, aku menyerah. Aku kembali ke rumah untuk istirahat dan minum. Rasanya keringat baru saja bercucuran dari pelipis dan punggungku. Gerah sekali. Aku langsung masuk ke kamar untuk mendinginkan tubuhku. Aku tidak beranjak dari kamarku sama sekali setelah itu. Aku merebahkan tubuhku di ranjang dan menyalakan laptop. “Komik baru apalagi yang diterbitkan di sini?” aku bergumam sendiri. Kuambil selimut supaya posisiku semakin nyaman. Segelas susu yang sedang mama siapkan untukku akan menyegarkanku. Kudengar pintu geser kamarku digeser. Mama membawakanku segelas susu full cream dingin kesukaanku, mama memang tahu yang kubutuhkan saat ini.

Mama duduk di pinggir tempat tidurku dan mengamati apa yang kulakukan. Dia berbincang-bincang denganku sebentar masalah liburan. Mama bilang aku terlalu terbuai dengan semua gadget dan kamarku. Ya, mama benar, aku terlena dengan semua hal yang menarik perhatianku. Aku tahu tidak baik begini terus. Tapi tidak tahu kenapa aku suka melakukannya. Aku hanya mengangguk-angguk tanda mengerti sambil tetap mengarahkan pandanganku ke layer laptop. Sekitar 10 menit mama mengoceh tentang masalah liburanku, setelah itu ia beranjak pergi sebelum menawarkanku ingin sarapan apa. Pertanyaan yang menyulitkanku. Aku hanya bilang ingin waffle. Mama pun pergi menelepon layanan pesan-antar makanan. Aku tetap di kamar. Aku mencari-cari komik bagus yang baru di-update. Tema-nya horror semua. Bukannya aku takut dengan komik horror, tapi komik horror luar negeri kurang seram dibandingkan buatan Indonesia. Indonesia terkenal dengan hantu-hantunya yang bikin merinding. Uji nyali di TV yang seharusnya tidak terlalu seram pun dapat dibuat seperti film seram yang top. Jago banget hantu-hantu itu memainkan perannya. Tapi kenapa komik dan hasil karya Indonesia selain tema horror tidak ada yang menarik? Cerita comedy, superhero, drama, terutama romansa, memiliki kualitas rendah. Cerita romansa dan dramanya itu-itu saja. Seorang nakal, pasangannya baik, sehingga mereka musuhan, lalu baikan dan jadian. Gak ada hal lainkah yang berbeda? Jadi khusus tema horror, yang kucari adalah buatan Indonesia. Terkadang aku rela bergadang hanya untuk membaca seluruh chapter horror-nya. Alasannya bukan hanya karena menarik, tapi juga berhasil membuatku ketakutan setengah mati sampai mataku menolak untuk terpejam. Untung masih hari libur. 

Sudah 30 menit laptop kubiarkan menyala untuk mengalihkan perasaan laparku, aku belum sarapan sejak mama menawarkan ingin sarapan apa. “Pesanan!!!” akhirnya datang juga. Aku begitu semangat membuka pintu gerbang, menyambut kedatangan pengantar makanan itu.
***
Rasanya penuh sudah perutku. Aku mandi dan berganti pakaian. Aku membuat sebuah novel karyaku. Aku harus menggunakan waktu luang sebaik-baiknya. Kubuka lagi laptopku dan memasukkan flash disk-ku ke dalam lubangnya. Sebaiknya cerita ini kucicil mulai sekarang, ini tidak akan jadi novel yang bagus kalau aku hanya menuangkan separuh dari ideku setiap harinya. Aku butuh menulis 100 halaman lebih. Belum termasuk data diri pengarang, daftar isi, dan lain-lain. Novelku tidak akan pernah selesai. Mungkinkah kalian bertanya-tanya, novel seperti apa yang aku buat? Yah, ceritaku tidak akan jauh dari kucing. Aku tidak sulit menemukan inspirasi, malah kadang inspirasi datang begitu saja. Aku sulit merangkai kata agar enak dibaca, jadi prosesnya butuh waktu agak lama.

Sore harinya, aku jogging di pinggir jalan dekat rumah. Aku tidak akan memilih patokan tempat yang jauh sekali dari rumah. Aku hanya jogging 200 meter dari rumah, kemudian balik lagi 200 meter ke arah rumah. Begitu terus, hingga aku mencapai jarak 1 kilo meter (1000 m). Aku tidak mau berjalan saat sedang jogging, itu hanya akan melelahkan kondisi tubuhku, aku tetap berlari tapi dengan napas yang teratur. Itu trik yang kutahu.

Malamnya, entah mengapa tubuhku terasa lelah sekali. Aku bercermin, dan ya, wajahku sangat kecapaian. Aku tidur pukul 8 malam setelah salat Isya, aku mudah sekali tertidur malam ini. Tidak perlu lagi menghitung sampai 100… Aku akan skip waktu selanjutnya, ke waktu yang akan kuceritakan (dan kuingat).
***
Hari Kamis, tanggal 14 Juli 2016,

Papa dan mamaku melakukan kerja bakti hari ini. Satu penyebabnya, ada virus panle mewabah di rumahku. Tenang, virus itu tidak akan berefek pada manusia, hanya akan menular pada kucing lainnya. Seperti manusia yang sedang pilek, manusia lainlah yang tertular. Masalahnya, virus ini bukan seperti pilek, batuk atau sejenisnya. Ini virus yang sangat berbahaya. 90% kemungkinannya kucing yang terkena virus ini akan mati. Dari sekian banyak kucingku yang terkena panle, hanya 2 yang bertahan dari virus mematikan itu. Tapi kejadian itu sudah lama terjadi. Sudah setahun silam sejak virus panle menyerang kucing-kucingku. Hanya mereka yang antibody-nya kuat yang bisa menahan virus mematikan itu. Dan bila mereka sudah terkena virus itu lalu selamat, mereka tidak bisa terserang virus panle lagi. Sama halnya seperti manusia yang terkena cacar air.

Saat papa sedang menyapu halaman depan, di dekat pagar terdengar suara anak-anak kucing. Insting seorang pecinta kucing, saat mendengar suara itu, papa langsung meninggalkan sapu lidi-nya. Dia mencari-cari asal-muasal suara tersebut. Cuma ada sebuah box dilapisi plastik berwarna hitam. Papa penasaran dan membukanya. Lantas ia geram saat melihat apa yang ada di dalamnya. Bayi-bayi kucing yang baru saja lahir, matanya masih belum terbuka, tubuhnya hampir sama dengan seekor hamster kecil. Begitu lemah dan tak berdaya. Papa mencari-cari induknya, tapi tidak juga ditemukan. Betapa teganya orang-orang itu membuang bayi-bayi kucing ini. Menaruh mereka di dalam sebuah box, lalu dibungkus plastik hitam dan diikat kuat. 

Segera, papa membawa mereka berlima masuk ke rumah. Ia menyiapkan kandang, membersihkannya dengan alkohol, membilasnya agar tidak berkuman, dan membuatkan susu sapi untuk mereka. Papa mencuci tangannya dulu, lalu mulai memberi mereka susu sapi hangat itu. Mereka tampak kehausan. Kasihan sekali.

Setiap 2 jam, papa memberikan mereka berlima susu sapi. Mereka meminumnya dengan tergesa-gesa, jelas sekali kalau mereka lapar dan haus. Jadi inilah penghuni baru rumah kami. Paling muda di antara kucing-kucing di sini lainnya. Paling berbeda, dan paling kecil. Semoga saja virus panle tidak menyerang bayi-bayi ini.
***
            Minggu, 17 Juli 2016,

            Sudah 4 hari lamanya mereka berada di rumahku. Para penghuni baru itu semakin dewasa dan tidak suka bermanja-manja. Berbeda dengan kucing lainnya yang suka menarik perhatian. Mata mereka masih terpejam. Pada umumnya, bayi kucing matanya baru akan terbuka di hari ke-7. Walaupun bisa lebih cepat dari 7 hari, tapi mereka tidak minum ASI ibu mereka, mereka minum susu sapi yang mana akan memperlambat pertumbuhan mereka. Oh, ya, aku akan lupakan tentang kucing dulu, ini hari libur terakhirku! Hari terakhir aku bisa tidur dengan nyaman dan lelap, hari terakhir aku bisa bersantai-santai. Tidak ada waktu libur lagi. Jadwal untuk pekan depan di sekolah semakin padat. Aku tidak siap dengan apa yang akan kuterima besok. Teman sekelasku, guru-guruku, wali kelas, kelas… Aku benar-benar tidak siap. Sebaiknya kupersiapkan mentalku. Tidak masalah kalau aku tidak mengenal siapapun di kelas, setidaknya mereka teman yang baik. Setidaknya mereka tidak akan mengucilkanku. Ya, Allah, semoga aku bisa betah di kelas baru ini, dan semoga teman-teman baruku menerimaku.
***
            Tidak tahu apa yang kupikirkan, tapi semua negative thinking itu sirna seketika saat aku memulai kelas pertamaku. Teman-teman baruku bukan hanya cantik dan menarik, mereka sangat ramah dan baik padaku. Apa yang semula kukhawatirkan berganti dengan apa yang kunantikan. Hari ini, Senin 18 Juli, kumulai kedudukanku di kelas 8, dan kuakhiri liburan panjangku, menutup liburanku dengan hari pertamaku bersama teman-teman di kelas 8. Kuharap semakin hari semakin membaik di kelas 8 ini.
Anindya Azhra P. (4) VIII-D
Jakarta, 1 Agustus 2016