“Dua Pilihan”
U
|
ngkapan ini dilontarkan seorang
remaja putra dengan sangat emosi sampai-sampai suaranya terdengar bergetar. Deretan giginya bergesekkan dengan kencang. Ungkapan itu terdengar tidak elok, bahkan mungkin tidak pantas. Tabu,
pantang atau pamali. Mengejutkan. Boleh jadi si remaja itu letih, sangat letih
atau mulai putus asa, frustrasi.
Sudah lebih dari sebulan ia
menunggui ayahnya yang terbujur tak berdaya di ruang ICU. Ia anak bungsu dan
satu-satunya lelaki selain ayahnya. Ketiga kakaknya perempuan. Karena satu-satunya lelaki, maka ia harus
menemani ibu atau kakaknya di malam hari menunggui sang ayah. Ibu dan kakak-kakaknya
bergantian
menjaga ayah. Keduanya (salah satu dari ibu atau
kakak-kakaknya bersama remaja laki-laki) tidur di sebuah ruangan kecil yang memang
disediakan bagi keluarga klien yang dirawat di ruang ICU.
Pasti sangat tidak menyenangkan
tidur di ubin beralaskan karpet dan
kasur tipis. Meski ber-AC, ruangan
itu agak panas. Hanya keluarga mereka yang menunggu berdua. Keluarga lain
bahkan memaksakan hingga empat orang untuk menunggu di situ. Mereka
berdua saja sudah merasa kepanasan, bagaimana orang-orang yang sampai 4 orang
berjaga di dalam satu ruangan kecil begitu? Demi anggota keluarga mereka,
mereka rela tidur dalam suhu panas begini.
Pagi harinya, ia harus pulang mengendarai
motor sendiri agar tidak terlambat sampai di sekolah. Jarak dari rumah sakit ke
rumahnya bisa ditempuh satu setengah jam bila tidak macet. Padahal, sekolahnya
tidak terlalu jauh dari rumah. Bagaimanapun, sejak
ayahnya dirawat di rumah sakit, ia tidak bisa lagi sampai di sekolahnya tepat
waktu.
Mungkin, karena sudah lebih dari
sebulan, ia mulai merasa penat. Kegiatan rutinnya terganggu dan ia harus
menjalani hidup yang sama sekali berbeda dari rutinitas awalnya. Apalagi jika memerhatikan
ayahnya di ruang ICU dari balik kaca. Ayahnya jelas-jelas terlihat sangat lemah dan tak berdaya. Ia merasa sangat sedih, putus asa dan sama sekali tidak mengerti.
Mengapa ayahnya yang begitu baik,
dermawan, sangat peduli terhadap orang miskin, dan rajin beribadah harus terbujur kaku tak
berdaya di ruang yang dipenuhi peralatan yang tertancap di banyak bagian
tubuhnya?
Sedangkan banyak orang jahat yang dirasuki kebencian, iri hati, koruptor, dan pemerkosa anak-anak
berkeliaran dalam keadaan sehat di luar sana. Mengapa bukan mereka yang
terbujur di sini sebagai balasan atas kejahatannya?
Ia sekeluarga memang sama sekali
tidak siap dan sangat kaget serta terpukul mengahadapi musibah yang sangat
tiba-tiba ini. Tidak ada hal yang
mengganggu kesehatan ayahnya.
Ayahnya tidak mengidap penyakit berbahaya seperti jantung, diabetes, darah
tinggi atau
gangguan organ serius. Ayahnya
sehat-sehat saja.
Semua ini bermula akibat pengemudi
truk bejat menyetir dalam keadaan mabuk. Mobil ayahnya ditabrak oleh truk
yang ugal-ugalan. Supir ayahnya meninggal di tempat kejadian, dan ayahnya koma sampai
hari ini. Sang sopir truk kini dirawat di rumah sakit yang berbeda dengan kaki
dan tangan patah, serta berstatus sebagai tahanan Polisi. Memang
seharusnya orang yang bersalah yang kena batunya. Tapi kenapa ini berdampak
pada ayahnya juga?
Karena keadaan ayahnya semakin
memburuk, sudah tiga kali dilakukan rapat keluarga besar yang melibatkan
seluruh keluarga ayahnya. Sebenarnya suara mayoritas menginginkan semua
peralatan yang disambungkan ke tubuh ayahnya segera dicabut. Sangat kasihan
membiarkan ayahnya diperlakukan seperti itu. Ia dan kakak-kakaknya juga tidak
keberatan.
Tetapi ibunya belum ikhlas melepas
ayahnya. Ia berpikir, mungkin ketidakikhlasan ibunya itu yang membuat ayahnya
masih bertahan. Ibunya percaya, manusia boleh mengharapkan mukjizat dari Allah.
Ia dapat menerima penolakan ibunya. Ia yakin, dalam masalah pelik seperti ini,
suara terbanyak bukanlah penentu. Ini bukan sedang pemilihah kepala desa,
pikirnya. Ini untuk ayahnya, demi
ayahnya.
Namun, belakangan ia mulai berpikir
bahwa lebih baik ayahnya wafat. Ia berpikir seperti itu bukan karena tidak
menyayangi dan mencintai ayahnya. Ia mendengar keterangan dari dokter bahwa
ayahnya mengalami cedera sangat berat pada kepalanya. Otaknya sudah tidak bisa
berfungsi normal kembali. Benturan keras membuat kepala dan otak ayahnya
benar-benar mengalami kerusakan fatal. Sulit sekali untuk
disembuhkan.
Ia mencari berbagai informasi di
Google tentang cedera otak. Benar saja, jika dipertahankan hidup, ayahnya sudah
tak lagi bisa berfungsi sebagai manusia normal. Makin lama di ruang ICU pasti
menghabiskan uang. Mereka sudah menjual dua motor. Ayahnya pedagang, memiliki
toko di Tanah Abang dan beberapa tempat lain. Jika begini terus, pasti semuanya
akan tersedot habis. Bagaimana keluarga ini menghadapi hidup selanjutnya?
Bukankah keluarga ini harus melanjutkan hidup, apapun keadaannya?
Ungkapan lebih baik mati, hidup
juga gak guna, terasa tidak sopan, sarkas atau kasar, bisa jadi menggambarkan
keputusasaan. Namun dalam konteks seperti ini rasanya tidaklah demikian
artinya. Kala manusia menghadapi pilihan-pilihan yang sulit, cara menilai
pastilah tidak sama dengan keadaan normal.
Menghadapi situasi seperti ini
memang sangat problematis. Terutama bagi manusia yang memiliki iman dan
menghayati spiritualitas. Di beberapa negara Barat sudah ada regulasi yang
membolehkan manusia disuntik untuk mengakhiri hidup bila memenuhi sejumlah
persyaratan, agar tidak terlalu lama menderita. Salah satu sumber regulasi itu
adalah hak asasi manusia. Pemikiran yang sepenuhnya rasional yang tidak
didasarkan pada iman atau spiritualitas memang sederhana. Sesederhana
matematika duniawi. Tiga dikurang satu pasti dua.
Tidak demikian halnya dengan
matematika yang didasarkan pada iman, yang melekat dengan spiritualitas. Bila
Anda memiliki uang seribu rupiah dan memberikan lima ratus rupiah dengan ikhlas
kepada orang yang pantas menerimanya, faktanya uang Anda sisa lima ratus
sebagaimana yang diajarkan matematika duniawi.
Tetapi matematika yang didasarkan
pada iman menegaskan, Allah pasti, bukan akan, membalasnya berkali-kali lipat.
Ini garansi dari Allah. Balasan itu bisa dalam bentuk uang juga. Tetapi tidak
selalu dalam bentuk uang. Bisa berupa kesehatan, keselamatan, dan bentuk-bentuk
lainnya.
Begitupun manghadapi kematian.
Secara rasional benar adanya bahwa jika manusia mengalami kerusakan otak,
apalagi parah pasti tidak lagi dapat berfungsi sebagai manusia normal. Karena
itu untuk apa dipertahankan tetap hidup?
Ini bukan sekadar soal apakah
manusia masih bisa berfungsi lagi atau tidak. Bahkan bukan hanya soal bisa
sembuh lagi atau tidak. Ini soal siapa yang menentukan kematian.
Mengapa ada orang yang menderita
begitu lama sebelum akhirnya wafat? Ada rahasia di balik semua itu. Penalaran
rasional memang tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya secara mendalam.
Menghadapi situasi ini dibutuhkan penalaran spiritual. Penentunya adalah keyakinan
akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan.
Agama mengajarkan, penderitaan yang
dialami oleh manusia sebelum wafat dalam bentuk sakit berkepanjangan,
penderitaan mereka yang diluluhlantakkan tsunami, gempa bumi dan bencana lain,
memiliki makna di hadapan Allah. Semuanya diperhitungkan, diberi tempat. Itulah
sebabnya suntik mati tidak dibenarkan bagi manusia yang sangat menderita
sekalipun oleh aturan agama.
Kematian memang memiliki makna yang
tak menyenangkan. Kematian lekat dengan kehilangan, kesedihan, dan pedihnya
ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Namun, kadang kematian adalah solusi
terbaik. Bila si ayah yang telah lama terbujur di ruang ICU wafat, pastilah
merupakan solusi bagi penderitaan keluarga ini.
Meskipun tetap akan dihadapi dan
dialami dengan kesedihan mendalam. Namun, terselip rasa syukur. Biasanya secara
halus diungkapkan dengan cara tidak langsung seperti, kepergian ini merupakan
yang terbaik baginya. Terbaik bagi semuanya. Meski kita sangat menyayangi dan
mencintainya, tetapi Allah lebih mencintainya.
Ungkapan yang membuat semua yang
terlibat dalam kesedihan merasa lebih lega dan enteng.
Kematian sebagai solusi juga bisa
dialami oleh negara. Pada negara-negara komunis yang dengan sengaja
mentradisikan kultus individu, seringkali kematian merupakan solusi terbaik
untuk mengatasi konflik dan membuat negara menjadi stabil.
Saat Mao Tse Tung makin sepuh dan
kurang berfungsi, ia tetap jadi pemimpin besar. Karena para pendukung utama
dalam lingkar dalam kekuasaan tetap membutuhkan kehadiran sosoknya agar tetap
berada dan memertahankan kekuasaan. Tak pernah gampang mengganti pemimpin besar
di negara-negara komunis.
Sementara pemimpin besar semakin
dipunukkan penyakit parah, berkembanglah beragam spekulasi dan konflik yang
membuat negara menjadi
tidak stabil. Ketegangan bisa
berkepanjangan bila sang pemimpin besar tidak pernah muncul ke publik.
Berbagai kelompok kepentingan
bahkan bisa secara langsung berhadap-hadapan memperebutkan kekuasaan. Kala
akhirnya si pemimpin besar wafat, biasanya stabilitas negara secara perlahan
bisa dikembalikan, pemimpin besar baru pun muncul. Cina mengalaminya pada masa
Mao dan Deng Xiao Ping. Korea Utara mengalaminya pada sama Kim II sung dan Kim
Jong II. Cuba juga mengalaminya.
Kematian kadang merupakan solusi
terbaik untuk sejumlah masalah yang dihadapi keluarga bahkan negara. Meski
begitu, manusia tetap harus sepenuhnya menyadari bahwa penentu kematian adalah
Allah. Kematian kadang menjadi
problematis. Karena itulah, keluarganya tidak dapat mengambil keputusan
terbaik.
Lalu remaja itu dengan tekad bulat,
telah mengambil keputusan. Keputusan yang terbaik demi keluarganya, dan juga
ayahnya...
Remake by : Anindya A. P. (4) VIII-D